Bulan di Atas Bukit

Meski gelap, Asnah tetap terburu-buru melangkah. Ia berusaha mengejar dengan kaki tanpa alas. Rumput-rumput kering telah melukai, tapi ia acuh. Ia ingin secepatnya sampai di bukit. Ia ingin menemui bulan, memandang dari dekat.

Asnah sangat tergila-gila. Karena suatu hari Asnah pernah melihat bulan dari dekat. Ketika itu ia diajak ayah ke kampung sebelah. Untuk sampai di sana, Asnah harus mendaki bukit. Sayang, ayah Asnah harus berangkat sore, setelah ia pulang dari ladang. Berangkat ketika matahari akan turun membuat mereka terjebak malam di tengah jalan. Asnah bersikukuh untuk ikut, meski Pak Suto telah melarang. Asnah ingin menemui sahabat kecilnya di kampung sebelah.

Pak Suto tak bisa mencegah. Asnah ikut dan mereka harus berjalan tergesa-gesa. Namun, tetap saja Pak Suto tiba di atas bukit ketika malam telah menjelang. Matahari saja telah merapat ketika mereka masih di lereng.

Pak Suto sangat khawatir. Baru pertama kali ia mengajak Asnah ke luar kampung. Asnah, anak perempuan satu-satunya itu, ia pingit di rumah. Ia tak ingin Asnah terlalu sering keluar, apalagi bertemu dengan orang lain. Tapi kali ini Pak Suto sadar, Asnah telah dua puluh tahun. Ia butuh seorang teman. Ia juga akan membutuhkan seorang pendamping. Maka tak ada lagi alasan bagi Pak Suto untuk menahan Asnah di rumah.

Pak Suto memiliki keperluan ke kampung sebelah. Asnah diajaknya ikut serta. Pak Suto berharap Asnah mulai mengenal lingkungan di sekitarnya. Asnah senang mendengar ia diizinkan ikut.

Keinginan Asnah ke luar rumah sudah tak bisa dibendung lagi. Ia membayangkan telapak kakinya berlarian di atas rumput hijau, yang selama ini hanya dipandang dari jendela kamar. Lalu memetik bunga-bunga liar yang tumbuh sepanjang jalan menuju bukit. Asnah benar-benar tak sabar berjalan di luar sana.

“Kita tak mungkin berangkat, sayang. Langit sudah merah,” Pak Suto memandang ke atas, memperhatikan burung-burung beterbangan hendak pulang ke sarang.

“Asnah ingin berangkat sekarang, Ayah. Hari ini atau besok, sama saja. Ayah akan selalu pulang menjelang senja,” rengek Asnah.

Meski ada halangan, Asnah tak ingin melewatkan kesempatan ini. Pak Suto akhirnya mengangguk terpaksa. Ia juga tak ingin membuat Asnah kecewa. Alhasil, langit telah kelam ketika mereka hampir sampai di puncak. Perjalanan mereka cukup jauh. Antara satu kampung dengan kampung lain selalu dibatasi oleh daerah seperti hutan, bukit atau sungai. Ke arah mana pun, jarak antara kampung harus ditempuh seharian.

Ketika Asnah mendaki, dari atas sana ada sebuah cahaya yang membuat Asnah ternganga. Sudah lama ia tak melihat bulan, berdiri di bawah cahayanya yang terang, menatap lekat-lekat keindahan malam, membuat dada Asnah bergetar karena ada perasaan hangat menyelubunginya.

Selama ini Asnah tinggal di bawah bukit. Ia tak pernah bisa menyaksikan bulan. Di sekitar lereng, pohon-pohon terlalu rapat. Hutan-hutan pun tumbuh dengan lebat. Ia hanya bisa menjumpai bintang ketika langit sedang terang. Begitu cara Asnah mengagumi malam, seperti ia mengagumi Ibu ketika menyisir rambut panjang.

Asnah terburu-buru sampai ke atas. Ia melepaskan genggaman tangan ayah yang sedari tadi sangat takut jika Asnah terjatuh. Asnah menggapai bukit. Kaki-kakinya terluka, karena satu-satu ada beling dan duri tanaman yang menggores. Tetapi Asnah tak merasakannya sedikit pun. Ia sibuk dengan bulan yang sudah di depan mata.

Asnah sampai di atas bukit lebih cepat dari ayah. Ia selonjorkan kaki dan menengadahkan kepala, menatap bulan yang sedang bersinar dengan merah. Bulan itu bulat. Warnanya merah pekat, persis seperti api di bawah tungku ketika Ibu menanak nasi. Asnah mendecak kagum. Andaikan ia bisa menatap bulan setiap malam.

“Andaikan kita tinggal di atas ini, ayah? Aku bisa merawat bulan, seperti Ibu merawat aku di rumah,” ujar Asnah berkali-kali.

Pak Suto tersenyum, terasa ada getaran yang membuatnya menyesal. Seandainya ia tak terlalu memingit Asnah di rumah. Seandainya, ia mengajak Asnah keluar rumah, pergi ke kampung-kampung sebelah. Tapi, Pak Suto mengulum itu semua. Toh, semua telah berlalu. Pak Suto membiarkan Asnah menikmati bulan sepuas-puasnya.

Dan sejak saat itu, tak ada yang bisa menghentikan keinginan Asnah jika ia ingin menaiki bukit malam-malam. Apapun akan ia lakukan demi melihat bulan. Ia melakukannya dengan candu, berharap pada hari itu bulan sedang bersinar seperti malam ketika ia berangkat ke kampung sebelah.

Seperti sekarang, malam sudah larut. Jangkrik saja berlomba untuk mendendangkan sepi. Asnah tetap ingin keluar, ke atas bukit. Padahal malam tidak terlalu terang, langit kelam menandakan hujan akan datang. Udara lebih dingin dari biasanya. Asnah tetap bersikukuh. Ia berlarian, sementara di belakangnya, Pak Suto terengah-engah mengejar anak gadisnya. Ia putus asa, ini telah kali kelima Asnah keluar tiba-tiba. Ia melewati jalan belakang dan pergi untuk melihat bulan.

Pak Suto kecewa pernah mengajak Asnah ke kampung sebelah. Niat baiknya agar Asnah mengenal orang lain, justru menjadi kebalikan. Ia harus kehilangan Asnah yang riang, yang selama ini selalu menantinya ketika pulang dari ladang. Ada rasa cemburu yang mendekapnya dalam-dalam. Ia menemukan Asnah yang tergila-gila dengan bulan. Setiap sore, Asnah duduk di jenjang mendendangkan bulan agar datang. Atau kadang-kadang ia pergi ke sawah dan memanggil-manggil bulan, berharap agar bulan datang lagi pada malam itu.

Pak Suto kehabisan cara. Ia terpaksa memingit Asnah kembali. Ia tak mengizinkan Asnah ke luar, meski hanya untuk duduk-duduk di beranda. Pak Suto menutup jalan di belakang rumah. Ia membuat pagar lebih tinggi dari rumah, bahkan dengan jarak antara satu kayu dan kayu lainnya lebih rapat, sangat dekat. Bahkan kucing saja tak bisa lewat. Ia ingin mencegah keinginan Asnah naik ke atas bukit.

Tapi, Asnah tak kehabisan akal. Ia berusaha ke luar ketika ayah sedang beristirahat di beranda depan. Asnah mengambil kunci dari saku celana Pak Suto, lalu diam-diam mengendap ke belakang. Ia membuka pintu pagar. Tapi pandangan Bu Suto tak lengah, ia memperhatikan tingkah aneh Asnah dan mengetahui Asnah telah keluar. Ibu Suto berteriak.

Pak Suto terkejut. Ia berlari mengejar Asnah yang tidak diduganya akan keluar juga malam ini. Nafasnya terengah-engah mengejar Asnah yang memberontak melepaskan diri. Pak Suto memegangnya lebih erat, ia menarik Asnah pulang.

“Lepaskan, ayah. Izinkan Asnah keluar,” pintanya.

“Cukup, Asnah. Kamu jangan gila, nak.”

“Tidak setiap hari bulan itu bulat, seperti yang kamu temui malam itu. Lihat,” tunjuk Pak Suto ke atas langit yang mendung.

“Bintang saja tak muncul.”

Asnah menyerah.Pak Suto agak lega, meski suatu saat Asnah bisa saja lari lagi dari genggamannya. Mereka pun pulang. Sejak saat itu, Asnah tak pernah lagi keluar. Ia dikurung. Asnah tak akan pernah lagi bisa menatap bulan, apalagi langit yang terang. Namun, kegilaan Asnah ini tak membuatnya berhenti untuk bertemu dengan bulan. Sekarang Asnah yang menghadirkan bulan di dalam kamarnya. Ia melukis bulan, meski tanpa kanvas. Ia mengingat bulatnya bulan ketika malam-malam ia ke kampung sebelah. Ia melukis bulan yang merah.

***

Asnah mengenakan gaun tidur. Ia memegang sisir, mengepang rambut seperti Ibu. Ia bernyanyi, mendendangkan syair tentang bulan. Jika Ibu Suto datang, Asnah bercerita lagi bagaimana ia pernah ke atas bukit. Asnah dengan semangat menceritakan rupa bulan yang ia saksikan dari dekat. Bagaimana ia menggambarkan bulan itu merah seperti api di tungku ibu. Jika keadaannya baik, Asnah membujuk Ibu agar keluar malam itu juga. Ia ingin membuat ibu percaya, bulan yang ia lihat benar-benar cantik.

“Jika malam ini kita keluar, Ibu bisa melihatnya sendiri. Bulan itu merah, Bu. Dari atas bukit, Ibu bisa merasakan hangatnya cahaya bulan. Ketika Asnah pandang, rasanya di bulan itu ada kehidupan.”

Ibu memegang kepala Asnah. Ia juga tak ingin mematahkan semangat anaknya. Ia meneteskan airmata ketika tubuhnya telah membelakangi Asnah. Pak Suto juga merasakan apa yang dirasakan istrinya. Ia sedih melihat Asnah yang kini sendiri. Ia tak bisa lagi menimang Asnah dengan cinta. Jika waktu bisa diputar kembali, ia ingin mengizinkan Asnah keluar, mendaki bukit dan melihat bulan. Tapi itu tak akan ada gunanya, Asnah telah membuat bulan sendiri. Ia menikmati bulan dengan rasanya sendiri.

***

Pak Suto pulang dari kampung sebelah. Ia membawa sebuah kanvas, papan putih yang bisa dilukisi. Ia mengajak Asnah melukis bulan. Ia juga membelikan Asnah setumpuk cat dengan warna yang berbeda. Pelan-pelan, Pak Suto mengajak Asnah mengingat kembali bagaimana bentuk bulan. Ia menggambar lingkaran di tepi atas kanvas. Bulannya agak kecil. Muncul dari balik bukit yang diwarnai gelap. Pak Suto memberi warna kuning di dalam lingkaran, ditambahkan dengan coklat muda.

Meski tak tampak seperti bulan, Asnah sempat memalingkan wajahnya ke arah lukisan Pak Suto. Ia menyebut bulan berulang kali. Pak Suto berhasil membangkitkan kesadaran Asnah.

Asnah memegang cat. Ia mengambil warna merah, lalu memolesnya di atas kanvas. Ia tambahkan dengan sedikit putih. Lalu diberi bias dengan hati-hati. Asnah menyempurnakan dengan coklat muda. Bulannya agak besar, karena memenuhi setengah ruang di atas kanvas.

Kemudian Asnah melukis bukit, memperlihatkan bagian atas yang menyiratkan bulan di puncak, seperti yang ia temui ketika berangkat ke kampung sebelah. Lalu ia menghadirkan gelap, dengan bias putih sebagai bintang. Sedikit-sedikit warna bulan ia polesi, agar benar-benar tampak seperti bulan yang ia temui. Asnah telah menggambar bulan di atas kanvas. Pak Suto sangat bahagia. Bahkan, mata Asnah dilihatnya tak berhenti memandang lukisan itu.

Malam hari ketika senja telah menghilang, Pak Suto mengajak Asnah ke luar rumah, duduk di jenjang sambil menatap langit yang dipenuhi bintang. Asnah tersenyum. Ia kembali bisa menikmati malam. Sekarang Pak Suto yang tak sabar ingin mengajak Asnah ke atas bukit. Ia memperlihatkan lukisan Asnah dan menunjuk ke jalan, di mana ia akan menempuh jalan ke atas bukit. Asnah mengangguk, ia mengikuti Pak Suto.

Asnah berlari-lari ketika mendaki bukit. Ia melihat bulan menyembul sedikit, tapi mampu membuat Asnah berteriak. Ia berlari di atas gundukan yang ditumbuhi rumput berduri. Kadang-kadang terselip beling di antaranya. Asnah tak hiraukan, ia hanya ingin bertemu bulan. Pak Suto membiarkan Asnah berjalan sendirian. Senyumnya mengembang. Ada segelintir rasa haru yang menyergapnya.

Asnah melompat-lompat. Ia menengadahkan kepala, membentangkan tangan, lalu berputar sepuas-puasnya. Lalu, ia duduk bersimpuh. Kedua tangannya menekan mata kaki. Matanya lepas ke atas, memperhatikan bulan yang setengah. Warnanya tak lagi merah. Bulan itu kuning, tapi cahanya sampai ke mata. Bintang-bintang muncul lebih banyak malam ini. Pak Suto membiarkan Asnah di sana, hingga pagi.

“Bulan itu kamu, Nak,” ujar Pak Suto tengah menemani Asnah di atas bukit. Asnah sibuk dengan catnya. Tangannya tak berhenti bergerak. Hampir setiap malam, Asnah melukis bulan. Pak Suto membelikan kanvas, lebih banyak dari yang dibutuhkan Asnah. Mereka duduk di atas bukit, di mana Asnah pernah berjumpa dengan bulan yang merah, seperti api yang menyala di bawah tungku Ibunya.

Padang, September 2008

(nominator dalam 40 Cerpen Favorit Lomba Menulis Cerpen Remaja 2008)

Komentar

Postingan Populer