Rabab1, Seni Tradisi dari Pesisir Selatan

Malam semakin dingin menyelimuti Kapuh, Pesisir Selatan. Beberapa penonton telah menguap, menahan kantuk demi menonton kesenian rabab. Di atas panggung, laki-laki berusia lima puluh tahun duduk bersila memainkan rabab, alat musik sejenis biola yang dimainkan sambil duduk. Rabab ditegakkan di antara betis kaki, sementara tangannya dengan lincah menggesek alat musik tersebut. Ia ditemani oleh seorang laki-laki pemain gendang dan dua orang penyanyi perempuan. Mereka berempat memadukan musik dengan goyangan tubuh. Musik terdengar riang, seirama dengan pantun yang dinyanyikan untuk merayu dan menyindir penonton. Mereka berempat akan barabab2 hingga pagi hari.

Mulai rabab ka diawai

Paralu mampasambahan ka nan tuo-tuo

Mamintak mohon sabalun duduak baselo

Ketika rabab akan dimulai

Harus mempersembahkan kepada orang tua-tua

Meminta ampun sebelum duduk bersila

Kaba3 akan disampaikan si tukang rabab ketika malam mulai larut. Tali rabab dijentiknya hingga mengiut panjang. Kemudian digesek, menghasilkan irama yang berbeda dari sebelumnya (yang terdengar riang berganti menyayat melinturkan kalbu). Tali rabab dijentik lagi, ditekan dalam-dalam4. Kemudian, hanya suara laki-laki itu yang terdengar sendu, memaksa penonton untuk menyimak setiap ucapannya. Hal inilah yang harus ditunjukkan si tukang kaba, bagaimana kelihaiannya menggesek tali nan empat pada alat musik tersebut sambil menyampaikan kaba kepada penonton.

Si tukang rabab ini mengatur waktu dengan menyimak situasi penonton. Irama dalam setiap gesekannya membantu laki-laki yang dipanggil Reman ini menggulirkan babak demi babak dalam cerita. Ia yang berasal dari Kenagarian Kapuh, Kecamatan Koto XI Tarusan, Kabupaten Pesisir Selatan menarik napas di antara hembusan rokok penonton. Semuanya bersatu dalam dinginnya malam itu.

Reman memiliki nama lengkap Herman. Karena kebiasaan masyarakat Minangkabau yang suka menyingkat nama-nama orang, maka Herman lebih dikenal dengan sebutan Reman, si pemain rabab dari Kapuh. Ia membawakan cerita tradisional dari masyarakat Minangkabau. Di beberapa perhelatan, seperti acara pernikahan dan acara adat Minangkabau, laki-laki berkumis ini menyampaikan kisah tokoh yang biasanya diceritakan menderita karena merantau atau karena putus cinta. Laki-laki yang bersuku Caniago ini tak pernah lelah untuk berkesenian. Pertunjukan rabab dilakukan hingga subuh. Rabab Pesisir ditampilkan dengan latar budaya masyarakat Minangkabau yang juga dipengaruhi oleh agama Islam.

Waktu menunjukkan pukul dua pagi. Reman tersenyum ke arah penonton. Ia hendak turun dari panggung, karena sudah saatnya ia beristirahat sejenak. Ia meninggalkan rabab dan membawa segelas kopi ke tenda di belakang panggung. Baadok5 dimulai oleh si pemain gendang. Ia menabuh gendang lebih kencang. Tubuhnya digoyang, seperti tenda yang ikut-ikutan bergerak. Si perempuan tersenyum, mereka mengiringi suara gendang dengan pantun rayuan. Olok-olok penonton pun terdengar diiringi gelak tawa. Bahkan, suara dari penonton terdengar riuh dan meledak di tengah kesunyian malam.

Reman tersenyum memperhatikan tingkah mereka. Ia meneguk kopi dan menyalakan rokok daun. Reman menghangatkan tubuhnya yang mulai dingin. Matanya menerawang ke langit yang cerah dan tersenyum ketika seseorang bertanya tentang dirinya.

Reman menuturkan kisah hidupnya, seperti ia menyampaikan kaba. Katanya, ia telah menggeluti kesenian rabab sejak dua puluh delapan tahun lalu. Ia masih ingat bagaimana ia mulai mengakrabi kesenian ini. Sekitar tahun 1980-an, ia sering berkumpul dengan orang-orang yang memiliki kemampuan barabab. Ia menjadi stokar (kenek) pada mobil yang mengangkut pemain untuk tampil di luar kota. Ia membantu mengangkut alat musik, seperti biola, gendang dan saluang6. Selama beberapa bulan, Reman ikut berpindah-pindah menyaksikan penampilan mereka. Jika ada waktu senggang, ia diberi pengetahuan rabab dan diajarkan bagaimana cara memainkan alat musik tersebut. Sedikit demi sedikit, ia tertarik untuk memainkan rabab.

Perlahan, Reman bisa memainkan alat musik yang termasuk mahal pada masa itu. Jika tim rabab tidak tampil, ia memantapkan belajar rabab dengan meminjam alat musik mereka. Ia memainkan sendiri, hingga akhirnya Pirin Asmara, sekarang beliau almarhum, tertarik mengajarkan Reman. Reman mahir lebih cepat dari yang diduganya. Tak puas sampai di situ, tahun 1981, ia memiliki uang untuk membeli alat musik ini. Berbekal uang sejumlah Rp 250.000,-, Reman akhirnya memiliki rabab sendiri.

Ia bangga memiliki alat musik tersebut, hingga secara berkelanjutan, Reman memperbaiki cara bermainnya. Pirin Asmara memperhatikan perkembangan Reman dan yakin Reman mampu barabab bersamanya. Reman pun diajak tampil. Hari demi hari, ia tak berhenti belajar. Tak puas dari satu guru, Reman melanjutkan belajar kepada guru lain di Pasa Usang (Pasar Usang), salah satu daerah di Sumatera Barat. Ia belajar kepada Sarial. Sarial mengajarkan permainan rabab yang agak berbeda dari Pirin Asmara. Akhirnya, Reman memiliki kemampuan memvariasikan penyampaian kaba.

Ketika memainkan rabab, Reman merasakan getaran hebat yang tak bisa diungkapkannya. Ada rasa puas yang membuatnya tak berhenti untuk memainkan alat musik ini, apalagi ketika tangan menjentik dan menekan tali dalam-dalam. Lalu, rabab pun digesek. Alunan suara yang khas itu menciptakan suasana lain di dadanya. Ia berusaha bersiasat, bagaimana ia bisa memiliki pengetahuan rabab secara maksimal. Reman pun menciptakan kaba (cerita) tradisional dari masyarakat Minangkabau sendiri. Ia memilih cerita masa kini. Ia tak terpaut pada kaba Malin Deman, cerita tradisional yang telah lama berkembang dalam masyarakat. Bagi penonton, variasi cerita ini adalah nilai lebih bagi si tukang kaba.

Ketika ia sudah mantap di rabab, Reman beralih menambah kemampuan mempelajari alat musik tradisonal lain, seperti gendang. Sayang, ia harus terbentur pada alat musik saluang. Ia tidak mampu memainkan ala musik ini karena tidak memiliki nafas yang panjang. Meski begitu, ia tak putus asa. Ia beralih menambah kemampuan seni musik ke bidang seni yang memadukan gerak tubuh dan musik. Reman belajar tari-tarian kepada seorang guru, namanya Amir. Ia belajar menampilkan tari piring tiga, yaitu menari dengan meletakkan tiga piring di masing-masing telapak tangan, lalu melakukan gerak tari sesuai dengan iringan musik.

Pada waktu itu, hanya Bapak Amir yang memiliki kemampuan tari piring tiga. Reman masih ingat, Bapak Amir tidak membuka kursus. Namun, ia terlanjur tertarik dengan seni tari ini. Ketika memiliki waktu luang, Reman datang ke rumah Bapak Amir dan minta diajarkan. Bapak Amir bersedia mengajarkan dan ia pun menguasai tari piring tiga. Berkat kegigihannya, ia menampilkan tari ini di depan walikota Padang di lapangan Lubuak Buayo (Lubuk Buaya), salah satu daerah di kota Padang.

Inyo mintak tambuah (Mereka minta ditampilkan sekali lagi),” kenang Reman pada masa ia sukses membawakan tari piring tiga.

Sejak ia bisa menari, Reman belajar tari-tarian lainnya yang ada di Sumatera Barat, seperti tari sapu tangan dan tari rantak kudo. Ia telah menampilkan tari dan rabab di berbagai acara adat. Namun sayang, Reman terbentur pada keadaan ekonomi. Meski memiliki multi talenta dalam kesenian tradisional Minangkabau, ia terpaksa menjadikan kesenian ini sebagai pekerjaan kedua, karena harus mencari pekerjaan yang bisa memenuhi kebutuhan ekonomi keluarganya.

“Saya memiliki dua orang anak. Mereka masih kecil dan membutuhkan biaya yang banyak untuk sekolah. Jika ada waktu luang, saya barabab. Jika tidak, saya berdagang,” ujarnya sambil menghirup rokok daun lebih lama.

Sebagai pekerja seni, Reman tak sering menampilkan kesenian yang ia miliki. Ia tampil hanya jika ada undangan dari masyarakat atau pemerintah setempat, seperti acara perhelatan. Itu pun hanya dua hingga tiga kali sebulan. Uang yang didapat pun tidak terlalu banyak, karena harus dibagi dengan anggota tim yang lain.

“Saya bekerja dengan beberapa orang,” ujarnya.

“Jika saya diundang tampil, saya mengajak satu atau dua orang teman untuk membantu menampilkan bagian baadok. Berapa uang yang diperoleh, akan dibagi.”

Reman ingat ketika ia pernah menampilkan rabab di hadapan beberapa orang peneliti. Mereka membayar sekitar lima ratus ribu hingga satu juta rupiah. Ketika dibagi kepada empat orang anggota, Reman memperoleh seratus lima puluh ribu hingga dua ratus lima puluh ribu rupiah.

“Jumlah ini tak cukup untuk memenuhi kebutuhan keluarga saya,” terangnya.

Si tukang rabab dari Kapuh ini harus pandai-pandai mengatur hidupnya dengan berdagang dan berkesenian. Di satu sisi, ia memiliki kemampuan mengembangkan kesenian tradisional Minangkabau, seperti rabab dan tari piring tiga, yang termasuk langka di daerahnya. Di sisi lain, ia harus memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga.

“Untuk saat ini, hanya saya yang menguasai tari piring tiga,” ungkapnya.

“Begitu juga dengan rabab. Rabab hanya digeluti oleh beberapa pekerja seni dari Pesisir Selatan, yang rata-rata sudah tua. Kami belum memiliki pewaris yang akan melanjutkan kesenian rabab,” tutur Reman sendu membayangkan bagaimana nasib rabab di masa datang.

“Tidak ada yang mau belajar,” alasannya.

Pernah suatu hari, Reman mendengar bahwa kesenian Rabab Pesisir Selatan sangat terkenal di kota lain di Sumatera Barat. Sayangnya, kesenian rabab itu dibawakan oleh orang-orang yang tidak berasal dari wilayah Pesisir Selatan.

“Saya bangga Rabab Pesisir Selatan dikenal oleh masyarakat Minangkabau dari daerah lain, tetapi sebagai pemainnya, ada perasaan sedih karena bukan kami (orang Pesisir asli) yang mengembangkan kesenian tersebut.”

Tetapi demi kelanjutan tradisi, Reman dan teman-temannya merasa puas, sebab rabab Pesisir Selatan mampu bertahan di tengah kemodern-an sekarang.

“Seandainya ada kerja sama dari pemerintah, kesenian rabab ini bisa diajarkan kepada generasi muda atau dijadikan aset wisata untuk memperkenalkan kesenian Pesisir Selatan,”ujarnya ketika harus kembali ke atas panggung.

Ia harus menjentik tali rabab lagi, lalu menekannya dalam-dalam. Biar orang-orang mendengar kaba ditemani alunan musik rabab yang mendayu. Penonton telah gelisah menunggu bagaimana kelanjutan cerita si tokoh utama. Sebagai tukang kaba, ia berkewajiban menyelesaikan cerita yang dikarangnya itu.

Hidup sebagai Penjual Ikan

Walau sudah letih, Reman tak langsung tidur sepulang dari barabab. Ia meletakkan rabab dan pergi ke laut. Ia tak puas dengan jumlah uang yang diperoleh semalam. Pandangannya mengawang sampai minggu depan. Ia harus membayar uang sekolah anaknya yang menunggak tiga bulan. Seperti hari-hari biasa, ia menutupinya dengan menjual ikan yang dibeli dari nelayan.

Setiba di laut, Reman bernegosiasi dan mendapatkan dua keranjang ikan yang harus dijual hari ini. Ia masuk balai (pasar) dan menjual ikan-ikan yang dibeli tadi hingga pukul sepuluh.

“Agak sepi,” bisiknya.

Reman tak kecewa. Ia memakai motor yang biasa dipinjam untuk menjajakan sisa ikan-ikan tersebut ke rumah-rumah penduduk di sekitar Kapuh dan Tarusan. Pukul dua belas siang, ikan yang dibeli pun habis terjual. Ia tiba di rumah ketika waktu dzuhur telah masuk.

Ia melepaskan penat, menunggu masakan istri yang baru matang. Di rumah yang berukuran 8x11 meter, Reman tinggal bersama dua orang anak perempuan dan istri. Rumah mereka memiliki dua kamar. Satu untuk Reman dan satu untuk anaknya. Rumah mereka tidak ada listrik. Hanya dua buah dama (lampu teplok) yang menjadi sumber cahaya. Oleh sebab itu, rabab sangat berharga bagi Reman dan keluarga. Jika Reman tidak diundang untuk tampil, ia selalu memainkan rabab untuk istri dan anak-anaknya.

“Itu baru mengenai rabab. Seandainya ada kesempatan, saya ingin menampilkan tari piring tiga,” suara Reman terdengar lembap ketika membersihkan rabab yang digunakan tadi malam.

Meski usia telah lima puluh tahun, semangat Reman tak pudar untuk menghidupkan kesenian dari Pesisir Selatan. Ia berharap ada seseorang yang datang untuk belajar padanya, baik mengenai rabab maupun tari tradisional Minangkabau. Kadang-kadang muncul perasaan khawatir di hatinya. Ia takut rabab hanya berkembang dalam generasinya saja. Padahal, ia mendengar pemerintah sedang menggencarkan agenda babaliak ka nagari (kembali ke kampung), membangkitkan segala potensi daerah, seperti kesenian, wisata dan bahasa daerah.

Di tengah kekhawatiran ini, Reman berharap ada solusi yang bisa diperolehnya untuk menjadikan barabab sebagai pekerjaan utama. Ia berharap kesenian ini tak lagi sekedar selingan, tetapi suatu kewajiban untuk memperkenalkan rabab kepada masyarakat.

“Nilai-nilai kedaerahan sangat banyak dalam kesenian rabab, seperti bagaimana bahasa masyarakat Minangkabau yang mengenal kato nan ampek7. Bagaimana seharusnya tingkah laku seorang pemimpin adat, sopan-santun anak kemenakan, kerja sama masyarakat se-nagari, dan terutama mengenai sejarah masyarakat Minangkabau yang tak lagi dikenal generasi pada masa sekarang.”

“Belajar rabab seperti menggali ilmu dari alam Minangkabau. Oleh karena itu, saya benar-benar berharap rabab bisa dipelajari oleh generasi muda sekarang,” ujarnya menutup pembicaraan.

Seperti biasa, si bungsu duduk merapat ingin mendengarkan permainan rabab ayahnya. Tali rabab dijentik hingga mengiut panjang. Kemudian digesek agar menghasilkan irama yang menyayat. Si sulung menikmati kaba yang dibawakan ayahnya. Reman kembali barabab sambil menunggu panggilan datang.

Catatan Kaki:

1 Rabab merupakan seni tradisi Minangkabau asal Pesisir selatan, Sumatera Barat. Kesenian ini menggunakan alat musik semacam biola yang dimainkan sambil duduk. Alat berbentuk biola itu ditegakkan, sementara biola asli dimainkan dengan direbahkan di atas bahu. Alat musik ini adalah pengiring dalam menyampaikan kaba (cerita yang disampaikan tukang kaba).

2 Bararab adalah pekerjaan tukang rabab, yang memainkan rabab untuk menyampaikan kaba (cerita tradisional) dari masyarakat Minangkabau.

3 Kaba adalah salah satu jenis sastra Minangkabau yang berisi cerita dan berbentuk prosa liris, kalimat-kalimat kaba pendek-pendek, antara 8-12 suku kata dan diucapkan dalam dua penggalan.

4 Deddy Arsya, Perempuan dengan Senyum Waktu dalam Jemari Laurin: Antologi Cerpen Remaja Sumbar. (Padang: 2007).

5 Baadok adalah bagian dari barabab yang menyampaikan kaba dengan pantun sindiran, hiburan dan pantun jenaka. Baadok merupakan salah satu trik penampil untuk membangunkan dan menghibur penonton yang sudah terlelap.

6 Saluang merupakan alat musik tradisional Minangkabau yang dimainkan dengan ditiup.

7 Kato nan Ampek adalah tata cara berbicara seseorang sebagai masyarakat Minangkabau, yang menggunakan empat cara, yaitu kata mendaki (bagaimana berbicara kepada yang lebih tua), kata menurun (bagaimana bertutur kepada yang lebih muda), kata mendatar (bagaimana bersikap kepada sesama besar) dan kata melereng (bagaimana menghormati orang yang disegani, seperti menantu, ipar, alim ulama, tokoh adat dan lain-lain).

Komentar

Postingan Populer